Sumitronomics: Jurus Purbaya Dongkrak Ekonomi ke Level 8%


MEDIASOLORAYA - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memaparkan bahwa Sumitronomics kini menjadi fondasi utama dalam strategi pembangunan ekonomi nasional guna mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Menurutnya, pendekatan ini diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% dalam jangka menengah.


Dalam keterangannya di Rapat Paripurna DPR RI ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026 yang digelar Selasa (23/9/2025), Purbaya menekankan bahwa Sumitronomics bertumpu pada tiga pilar utama: Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Pemerataan hasil pembangunan dan Stabilitas nasional yang dinamis.


Namun, ia menggarisbawahi bahwa ketiga pilar tersebut hanya akan efektif jika ada konsistensi dan sinergi antara kebijakan fiskal, sektor keuangan, dan iklim investasi.


“Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju, kita perlu strategi ekonomi yang berlandaskan pada tiga pilar ini,” ujar Purbaya di hadapan anggota dewan.


Meski mengakui bahwa mengejar angka pertumbuhan sebesar 8% bukan hal mudah, Purbaya optimistis target tersebut tetap realistis. Ia mengingatkan bahwa sebelum krisis moneter 1997-1998, Indonesia pernah mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6%.


Ia juga menyoroti negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Singapura yang berhasil mencatat pertumbuhan lebih dari 7,5% selama satu dekade sebelum naik status menjadi negara maju. Tiongkok, bahkan sempat mencetak pertumbuhan dua digit, yakni di atas 10% selama periode 2003-2007 dan tahun 2010.


“Konsistensi dalam menjaga mesin pertumbuhan yang selaras akan menjadi kunci untuk mendorong ekonomi menuju level 8%,” tegasnya.


Apa Itu Sumitronomics?

Istilah Sumitronomics mulai kembali diperbincangkan sejak Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden. Konsep ini terinspirasi dari pemikiran ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, tokoh ekonomi nasional sekaligus ayah dari Prabowo.


Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Sumitronomics merupakan bentuk kapitalisme negara yang berpijak pada lima prinsip utama:


Peran aktif negara dalam mendukung sektor swasta, khususnya dalam proses hilirisasi sumber daya alam.


Kebijakan fiskal yang ekspansif, meskipun berisiko memperlebar defisit APBN dan menambah utang, demi menciptakan lapangan kerja.


Kebijakan moneter di bawah kendali pemerintah, yang memungkinkan suntikan likuiditas meskipun bisa mengurangi independensi bank sentral.


Stabilitas nasional berbasis ekonomi dan politik, termasuk dengan pelibatan unsur militer atau konsep yang dikenal sebagai military-driven economy.


Deregulasi dan relaksasi aturan, guna mendorong kemudahan berusaha bagi pelaku ekonomi.


Namun Bhima juga memberi catatan penting. Ambisi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi bisa menimbulkan risiko seperti tekanan inflasi, pelemahan nilai tukar, terutama jika impor bahan baku meningkat tajam, serta potensi inefisiensi akibat keterlibatan militer dalam sektor ekonomi.

Lebih baru Lebih lama